Oleh: Dr. Herdi Sahrasad
Pertemuan saya dengan Prof Benedict Anderson di Monash University, Clayton, Australia (1992) dalam sebuah seminar tentang Indonesia era Orde Baru Soeharto dan ketulusannya menerima kehadiran kami (bersama mantan aktivis HMI dari UGM: Saefudin Simon dan TM Luthfi Yazid) di Cornell University, Ithaca, New York, AS musim gugur tahun 1994, dimana kami banyak berdikusi tentang Orde Baru, juga tentang para aktor sejarah dari Kedu/Bagelen, Magelang, Banyumas dan Yogyakarta (Dulangmas dan Jogja) dalam sejarah perjuangan di Indonesia modern, untuk sebagian, telah meng-inspirasikan penulisan pemikiran, atau buku sahaja ini.
Kenangan di Cornell University, USA: Prof Benedict Anderson (tengah), bersama Herdi Sahrasad (penulis, kanan) dan TM Lutfi Yazid LLM (Kiri) di taman belakang Universitas Cornell, Ithaca, New York, musim gugur 1994. Belajar dari pandangan dan pemikiran Ben Anderson, kita akan menangkap pergolakan zaman Indonesia modern era Bung Karno dan Pak Harto.
Dan kitab yang anda simak ini adalah teks ‘’catatan awal’’ atas para intelektual dan jenderal dari kawasan Bagelen, nama lain dari Purworejo, yang telah berbuat banyak bagi masyarakat dan bangsa ini.
Saya sendiri lebih suka menggunakan nama Kabupaten Bagelen (dulunya Karesidenan Bagelen) dengan ibukota Purworejo ketimbang ‘Kabupaten Purworejo’ karena konotasi kata ‘Bagelen’ terasa lebih historis, mistis, imajinatif, asosiatif dan inspiratif. 1Ben Anderson pernah menyebutkan kepada penulis bahwa para intelektual dan jenderal Merah Putih dari kawasan Bagelen adalah orang-orang yang malang atau dilupakan dalam pengabdian dan dedikasi mereka di Tanah Air.
Karesidenan Bagelen awal abad ke-20 adalah kawasan sosio- kultural pedesaan di Tanah Jawa bagian selatan yang memiliki arti dan tempat tersendiri, kalau pun tidak terlalu penting sekali, dalam sejarah Indonesia modern.
Tidak saja karena daerah itu dikenal sebagai basis kekuatan Pasukan Pangeran Diponegoro dalam perlawanannya terhadap Belanda, namun juga karena Bagelen pada masa kolonial melahirkan para intelektual, jenderal dan aktivis pergerakan pro- kemerdekaan yang berhadapan dengan kaum penjajah seperti WR Supratman yang mengarang lagu Indonesia Raya dan melantunkannya pada Sumpah Pemuda 1928, Mr Kasman Singodimedjo (PPKI) dan Doktor Boentaran Martoatmodjo (BPUPKI) dan Jenderal Oerip Sumohardjo (nation, state and military builder).
Juga ada Jenderal (purn) Ahmad Yani, Pranoto Reksosamudra dan Sarwo Edhie Wibowo, juga Prof Driyarkara, Mr Wilopo dan seterusnya, yang menjadi pelaku historis atas state and nation building di negeri ini.
Bahkan, dari kawasan agraris di pedalaman Jawa ini, BJ Habibie pun lahir dari seorang ibu yang memiliki ‘trah Bagelen’, dimana kakek buyut Habibie sendiri yaitu dr. R. Tjitrowardojo adalah Dokter pertama Bagelen yang meraih pendidikan kedokterannya di Belanda.
WR Supratman yang asli trah Bagelen sempat dilanda kontroversi soal tempat kelahirannya, namun hal itu tidak bisa mengubah fakta bahwa ayahnya dari Somongari, Kaligesing, Purworejo, merupakan kawasan Bagelen yang diwarnai kehijauan pegunungan Menoreh yang yang elok, memikat sekaligus misteri.
Almarhum Oerip Sumohardjo, Ahmad Yani dan Sarwo Edhie adalah “military builders sekaligus nation state builders” yang mengenyam pendidikan militer ala Barat (Oerip dididik Belanda, Ahmad Yani dan Sarwo Edhie di Amerika Serikat), tipikal pemimpin militer yang modern dan seakan menjadi ‘’pusaka’’ keteladanan keluarga besar Bagelen yang umumnya menaruh minat masuk dinas ketentaraan.
1 Sesudah menyelesaikan training dan kuliah internasional LEAD International di San Jose Costa Rica (Amerika Latin), kami bertiga bertolak menuju New York karena keterbukaan Pak Ben Anderson untuk menerima dan menyokong kami selama bertamu ke Cornell University, Southeast Asia Program, musim gugur 1994.
2Merle Calvin Ricklefs ,A History of Modern Indonesia Since C. 1200, Stanford University Press, 2001. Lihat, Denys Lombard, Nusa Jawa; Silang Budaya, Jilid I, II dan III, Jakarta: Gramedia, 2005.
3 St Sularto, ‘’WR Supratman dan Indonesia Raya’’, harian Kompas ,17/8/15.
4. Ayahku dari trah Bagelen, terlibat Tentara Pelajar dan seperti halnya ibuku, secara geneologis lahir dari keluarga Nahdlatul Ulama, keduanya pengikut/pengagum Bung Karno yang setia (Soekarnois) dan memilih PNI pada pemilu 1955. Pada masa Orde Baru ayah diangkat menjadi asisten Wedana Bagelen atau Bruno dan harus mengikuti garis politik dan birokrasi kekuasaan Pak Harto.