oleh: Denny JA *)
“Ya, Tuhan.
Jangan biarkan aku mati,
menyimpan kebencian ini.
Amarahku menjadi raksasa.
Aku budaknya.”Itulah isi hatiku.
Di malam itu, malam yang beku.
Tengah malam, menjelang sahur.
di Gaza, di Palestina yang lara.
Ibu dan adik berkemas di dapur.
Kami menunggu hidangan puasa.
Kulihat di langit, berkilat cahaya.
“Inikah malaikat dari surga?
Hening dan gaib suasana.
Pohon dan angin, diam terpana.
Astaga!!! Aku salah lihat.
Itu bukan malaikat.
Itu BOM kiriman Israel.
DUAaaaaar, duaaaaar!
Keras sekali bom itu meledak.
Ya, Tuhan, bom jatuh di rumah Tabatibi.
Anaknya, Adara, 19 tahun, ia kawan karibku.
Di halaman Rumah Sakit Al-Aqsa Martyr, Adara menangis
memelukku, meraung- raung:
“Salma, Salma.”
“Ayahku, mati di sana.
Ibuku, Adikku.
Kami 36 keluarga besar.
Mati semua.
Hanya aku tersisaaaaa.” (1)
Atas izin Ayah,
Aldira yang tersisa seorang diri,
kuajak tinggal di rumah kami.
Bulan puasa ini.
Bukan menahan lapar dan dahaga yang sulit.
Sejak Israel menghancurkan Gaza,
kami sudah terbiasa menahan lapar, menahan dahaga.
Kulkas kami kosong sejak
lama.
Di pasar dan toko, tak ada makanan.
Yang sulit justru menahan sedih.
Satu persatu keluarga kami,
sahabat kami terbunuh.
33 ribu sudah rakyat Palestina mati sejak serangan Israel 2023.
Yang sukar justru menahan amarah.
Ini dunia modern yang besar.
Mengapa tiada yang mampu,
menghentikan pembunuhan Israel kepada kami.
Mana itu Amerika?
Mana itu Arab Saudia?
Mana itu PBB?
Mana itu Indonesia?
Mengapa kami dibiarkan terbunuh.
Tujuh bulan sudah.
Berapa banyak lagi kami harus terbunuh?
Berapa banyak lagi mayat- mayat harus bergelimpangan di jalan?
Anak- anak Palestina,
mengeruk sampah mencari sisa makanan.
Mayat- mayat terkubur,
kehabisan kain kafan.
Di magrib yang redup,
menjelang berbuka puasa.
Kembali kudengar seruan itu:
“Tegakkanlah agama dengan hati yang lembut.
Sebarkanlah agama dengan cinta damai.”
Aku terdiam merenung.
“Ya Tuhan, jangan biarkan aku mati,
tapi masih menyimpan rasa marah.”
Jadikan amarahku budak saja. Dan akal budiku, sebagai tuannya.*
Jakarta, 19 Maret 2023
(Puisi esai ini dibacakan dalam acara Forum Esoterika, merayakan puasa Ramadhan, dan puasa Baha’i)