Kapuas, pojokindonesia.com – Dua anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, yang terlibat dalam pelanggaran tindak pidana Pemilu, dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kuala Kapuas. RS (26), seorang anggota KPPS, dan HS (45), Ketua KPPS, dinyatakan bersalah karena melakukan pencoblosan surat suara atas nama orang lain yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang berlangsung pada 27 November 2024.
Vonis terhadap kedua terdakwa dibacakan dalam dua sidang terpisah pada hari yang sama, Senin, 23 Desember 2024, di Pengadilan Negeri Kapuas. Sidang perkara nomor 231/Pid.Sus/2024/PN/Klk dijalani oleh RS, sementara HS disidangkan dalam perkara nomor 232/Pid.Sus/2024/PN/Klk. Sidang ini juga dihadiri oleh Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Kalimantan Tengah, Satriadi, dan Ketua Bawaslu Kabupaten Kapuas, Iswahyudi Wibowo.
Dalam putusannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh kedua tersangka sangat jelas melanggar aturan Pilkada, khususnya dalam hal penyalahgunaan hak pilih. RS dan HS terbukti melakukan pencoblosan surat suara atas nama pemilih yang terdaftar dalam DPT, namun tidak hadir di TPS 04 Kelurahan Selat Utara pada hari pemungutan suara. Pelanggaran ini dianggap sangat serius, karena merusak integritas proses demokrasi dalam pemilu.
Ketua Bawaslu Kabupaten Kapuas, Iswahyudi Wibowo, yang turut hadir dalam sidang, menegaskan bahwa kasus ini menjadi pembelajaran penting bagi semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu. “Kejadian ini harus menjadi pelajaran bagi kita semua, baik penyelenggara pemilu, peserta, maupun masyarakat. Kami berharap peristiwa ini bisa menjadi peringatan yang tegas bahwa setiap pelanggaran dalam pemilu, terutama yang melibatkan penyelenggara, akan berhadapan dengan sanksi pidana yang sangat merugikan,” ujarnya setelah persidangan.
Iswahyudi juga menjelaskan bahwa meskipun pelanggaran tersebut terjadi, dampaknya tidak memengaruhi hasil akhir Pilkada. “Tindak pidana yang dilakukan oleh kedua tersangka bersifat personal, tidak memengaruhi hasil Pilkada secara keseluruhan. Pemilu sudah selesai, dan hasilnya telah diterima. Pengadilan telah memberikan putusan yang sah dan mengikat, jadi ini merupakan ranah yang berbeda,” tambahnya.
Majelis Hakim yang memimpin sidang adalah Dr. Putri Nugraheni (Ketua), bersama hakim anggota Wuri Mulyandari dan Pebrina Permata Sari untuk perkara nomor 231 yang melibatkan RS. Sementara itu, untuk perkara nomor 232 yang melibatkan HS, sidang dipimpin oleh Hakim Ketua Diah Pratiwi, dengan hakim anggota Syarli Kurnia Puteri dan Istiani.
Dalam sidang yang berlangsung pada Senin tersebut, Hakim Ketua Dr. Putri Nugraheni membacakan putusan untuk RS, yang dijatuhi hukuman 24 bulan penjara dan denda sebesar Rp 24 juta, subsider 1 bulan kurungan penjara jika denda tidak dibayar. Sementara itu, untuk HS, vonis yang dijatuhkan sama, yaitu 24 bulan penjara dan denda yang sama, dengan subsider hukuman 1 bulan kurungan.
Setelah pembacaan putusan, baik pihak terdakwa maupun Jaksa Penuntut Umum (JPU) diberi kesempatan untuk mengajukan banding atas putusan tersebut. Namun, baik RS dan HS, melalui penasihat hukum mereka, menyatakan menerima keputusan Majelis Hakim.
Kasus ini menjadi sorotan penting dalam Pemilu 2024, karena menyoroti tantangan dalam memastikan proses pemungutan suara yang adil dan sah. Bawaslu berharap agar seluruh penyelenggara pemilu dan masyarakat dapat lebih waspada dan berhati-hati dalam pelaksanaan pemilu selanjutnya, untuk menghindari terjadinya pelanggaran serupa di masa depan.
(uhkps)