Oleh: Mursidah, S.Pd., M.Pd.*
Perjalanan Korps Kepolisian di Indonesia sudah dimulai sejak zaman kolonial Belanda pada tahun 1897 hingga 1920.
Pada masa itu terdapat berbagai macam Kepolisian diantaranya Velid Politie (Polisi Lapangan), Stands Politie (Polisi Kota), Cultur Politie (Polisi Pertanian) dan Bestuurs Politie (Polisi Pamong Praja).
Pada saat itu jabatan penting yang diemban pada kepolisian masih dipegang oleh pejabat yang berasal dari Kolonial Belanda, sementara warga pribumi hanya terbatas pada jabatan pelaksana lapangan.
Pada masa pendudukan Jepang, kepolisian dipimpin oleh warga Indonesia, akan tetapi masih didampingi pejabat Jepang yang pada praktiknya lebih memegang kuasa.
Saat itu, kepolisian dibagi-bagi berdasarkan wilayah. Wilayah Jawa dan Madura berpusat di Jakarta, Kepolisian Sumatera dengan pusat di Bukittinggi, Kepolisian Indonesia Timur berpusat di Makassar, dan Kepolisian Kalimantan yang pusatnya ada di Banjarmasin.
Setelah kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, dalam sidang PPKI kedua pada tanggal 19 Agustus 1945, diputuskan bahwa Djawatan Kepolisian Negara akan berada di bawah Kementerian Dalam Negeri.
Pada tanggal 29 September 1945, Presiden Sukarno melantik R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo sebagai Kepala Kepolisian Negara (KKN).
Namun, Djawatan Kepolisian Negara mengalami kendala dalam bekerja secara efektif karena hanya bertanggung jawab pada masalah administrasi kepada Kementerian Dalam Negeri. Sedangkan, masalah operasional menjadi tanggung jawab Jaksa Agung.
Selain itu, lembaga kepolisian tidak memiliki hubungan komando vertikal dengan provinsi maupun kabupaten. Di tingkat karesidenan, secara organisatoris kepolisian berada di bawah residen, dan di tingkat kabupaten berada di bawah bupati.
Atas dasar itulah R.S. Soekanto mengajukan pertimbangan kepada pemerintah melalui Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Ia mengajukan pertimbangan tentang pentingnya melakukan perubahan kedudukan Kepolisian Negara menjadi Kepolisian Nasional.
Pada tanggal 1 Juli 1946 pemerintah mengeluarkan Surat Penetapan No. 11/S-D Tahun 1946 dengan keputusan, mengeluarkan Djawatan Kepolisian Negara dari lingkungan Kementerian Dalam Negeri menjadi jawatan tersendiri dan langsung berada di bawah Perdana Menteri.
Pada 1 Juli 1946 diputuskan korps kepolisian yang berada di daerah-daerah menjadi satu kesatuan secara nasional di bawah pemerintahan Republik Indonesia.
Hari Bhayangkara merupakan hari Kepolisian Nasional, yang diambil dari momentum turunnya Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 1946. Peraturan tersebut berhasil menyatukan kepolisian yang semula terpisah sebagai kepolisian daerah, menjadi satu kesatuan nasional dan bertanggung jawab secara langsung pada pimpinan tertinggi negara, yaitu presiden.
Berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Negara 30 Juni 1959 Nomor Pol:3/4/Sek. maka ditetapkanlah setiap tanggal 1 Juli sebagai Hari Bhayangkara. Istilah Bhayangkara dipilih karena diambil dari istilah yang digunakan Patih Gadjah Mada dari Majapahit untuk menamai pasukan keamanan yang ditugaskan menjaga raja dan kerajaan.
Pada 10 Juli 1959, kepolisian diberi kedudukan menteri negara ex-officio. Pada 1960, Presiden Soekarno menyatakan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia terdiri atas Angkatan Perang dan Polisi Negara. Pada 19 Juni 1961, DPR Gotong Royong mengesahkan Undang-Undang Pokok Kepolisian. Isinya, kedudukan Kepolisian sebagai salah satu unsur ABRI yang sama dan sederajat dengan TNI AD, AL, dan AU.
Setelah Soeharto dipilih sebagai presiden pada 1968, Angkatan Perang dibedakan dengan kepolisian. Panglima Angkatan Kepolisian berganti nama menjadi Kepala Kepolisian. Sedangkan panglima tiga angkatan diganti menjadi kepala staf angkatan.
Melalui Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1999 tertanggal 1 April 1999, kepolisian dipisahkan dari Tentara Nasional Indonesia. Kepolisian sempat diletakkan di bawah Menteri Pertahanan dan Keamanan. Pada Hari Bhayangkara 1 Juli 2000, dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 89 Tahun 2000, yang melepaskan kepolisian dari Departemen Pertahanan dan menetapkan kepolisian di bawah presiden. (*)
*) Guru Sejarah SMAN 8 Banjarmasin