Selama ini agama dilihat sebagai sesuatu yang multak, final, dan tidak dapat berubah. Maka kehidupan beragama menjadi kaku. Tidak rileks. Bahkan agama menjadi mudah ditransformasikan menjadi kekuatan konfliktual.
Gagasan Denny JA tentang agama sebagai warisan kultural milik bersama umat manusia menjungkirbalikkan paradigma tersebut. Ia membawa agama dari ruang tertutup ke ruang terbuka. Dari pemilikan komunal menjadi warisan universal. Dengan begitu agama menjadi sarana untuk mendorong pemcerahan.
Demiikian benang merah yang muncul dalam diskusi dan bedah buku Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama: Sembilan Pemikiran Denny JA Soal Agama di Era Google, yang diadakan di aula Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)/ KAHMI, Cirebon, pada Senin, 17 Juli 2023.
Ahmad Gaus selaku penulis buku hadir di acara tersebut didampingi oleh kolumnis dan intelektual muda Afif Rivai sebagai pembahas.
Afif Rivai secara khusus menyorot aspek-aspek pemikiran Denny JA yang menurutnya dapat digunakan untuk mengubah pandangan orang yang terkungkung dalam ruang sempit teologi dan fikih. Teologi dan fikih itu perlu, ujarnya, tapi bukan satu-satunya cara untuk melihat agama, apalagi cara untuk beragama.
Sekarang ini toleransi dan hak asasi manusia harus menjadi cara hidup beragama. Sebab peradaban manusia yang paling mutakhir saat ini ialah ditemukannya gagasan tentang hak asasi manusia.
“Gagasan Denny JA seperti yang ditulis olah Gaus dalam buku ini sarat dengan ide-ide kebebasan dan hak asasi manusia. Itulah yang saya sebut pencerahan,” tegas mantan aktivis HMI yang berprofesi sebagai wartawan dan penyiar televisi ini.
Dikatakan oleh Afif bahwa kita perlu meilhat agama sebagai penggerak perkembangan budaya dan peradaban manusia. Agama dan kebudayaan serta bentuknya yang tertinggi yakni peradaban senantiasa bersimbiosis mutualisme.
Alangkah ruginya kalau agama diperlakukan semata-mata sebagai dogma yang tertutup. Ia hanya melayani umatnya saja. Sedangkan rahmat Tuhan seperti yang diajarkan oleh agama apapun, adalah untuk semua. Melampaui batas.
*Denny JA Merebut Monopoli Tafsir
Ahmad Gaus selaku penulis buku menyoroti hal yang sama. Baginya, ukuran sesuatu itu mencerahkan atau membutakan mudah saja. Kalau sesuatu itu membawa ke tempat tertutup dan melahirkan fanatisme maka ia membutakan. Sebaliknya kalau mendorong keterbukaan maka ia mencerahkan.
Gaus mengutip hadis Nabi yang dipopularkan oleh cendekiawan Nurcholish Madjid, ahabbu ‘din ilallah al-hanifiyyat as-samhah (sebaik-baik cara beragama di sisi Allah ialah yang lapang dada, tidak membelenggu jiwa, dan bersikap toleran).
“Nah, gagasan Denny JA ini bisa dibilang merebut monopoli tafsir agama dari kaum fanatik dan memgajak orang beragama untuk bersikap terbuka dan toleran. Itu yang dimaksud dengan pencerahan dalam beragama. Dan itulah ajaran Nabi,” tandasnya.
Menurut Gaus, buku yang ditulisnya itu mengelaborasi pemikiran Denny JA bahwa agama merupakan warisan budaya yang mengandung harta karun kebaikan, moral, dan spiritualitas yang berlimpah, yang teramat sayang kalau dikunci di dalam gudang masing-masing.
Sebagai kekayaan budaya, lanjutnya, agama harus dapat dinikmati oleh semua orang, tanpa menjadi fanatik, apalagi merugikan orang lain.
Diskusi yang dimoderatori oleh Ryal Al-Ghifari tersebut dihadiri oleh para aktivis HMI dan mahasiswa beberapa perguruan tinggi di Cirebon. Acara dimulai pukul 10 dan berakhir pukul 13. 00 WIB.
*Sembilan Pemikiran Denny JA
Buku Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama: Sembilan Pemikiran Denny JA Soal Agama di Era Google., diterbitkan oleh Cerah Budaya Indonesia (CBI), Maret 2023.
Di dalamnya terdapat sembilan bab yang masing-masing membahas mengenai aspek-aspek pemikiran Denny JA seputar femomena agama mutakhir dan spiritualitas, yakni: Bab 1, Iman Berbasis Riset. Bab 2, Manusia: Dengan atau Tanpa Agama.
Bab 3, Kitab Suci di Abad 21. Bab 4, Moderasi Beragama dan Kesetaraan Warga. Bab 5, Hijrah Menuju Demokrasi. Bab 6, Perebutan Tafsir Agama. Bab 7, Menggandeng Sains dan Jalaluddin Rumi.
Bab 8, Spiritualitas Baru Abad 21, dan Bab 9, Agama: Warisan Kultural Milik Bersama Umat Manusia.
Gaus juga meringkas pemikiran Denny JA seputar agama di era Google dalam sembilan butir sbb:
1. Pentingnya pendekatan kuantitatif untuk membuat perbandingan soal peran agama di masyarakat.
2. Para arkeolog berjasa mengkonstruksi ulang kisah agama.
3. Setelah Nabi tiada, tiada pula tafsir tunggal agama. Yang tersisa adalah perebutan tafsir. Penting kita memilih tafsir yang sesuai dengan prinsip HAM.
4. Muslim Eropa memgembangkan tafsir Islamnya sendiri yang sesuai dengan kultur Eropa. Kita pun di Indonesia tak perlu terikat dengan tafsir kultur Timur Tengah.
5. Bagi yang tak meyakini agama, agama dapat dinikmati sebagai sastra. Apa yang terjadi pada kitab suci La Galigo dapat juga terjadi pada agama lain.
6. Pentingnya mencari intisari semua agama berdasarkan the science of happiness dan neuro science. Denny JA mengembangkan spirituality of happiness.
7. Mendekati agama sebagai kekayaan kultural milik bersama. Merayakan hari besar agama lain sebagai social gathering lintas agama.
8. LGBT sebagai isu HAM masa kini. Pentingnya mengembangkan tafsir agama yang tidak mendiskriminasi kaum LGBT.
9. Perlunya menggandeng Science dan Jalaluddin Rumi.
Itulah ringkasan sembilan pemikiran Denny JA dari sembilan esai dalam buku yang ditulis oleh Ahmad Gaus. Di antara pemikiran Denny JA yang terpenting dan sangat dibutuhkan saat ini, ujar Gaus, ialah pandangannya bahwa agama perlu didekati sebagai kekayaan kultural milik bersama umat manusia.
Pandangan semacam ini menjadi modal sosial dan modal kultural untuk membangun masyarakat yang damai dan toleran. *
Link ke buku Ahmad Gaus Tentang Pemikiran Denny JA Soal Agama: Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama”
https://www.facebook.com/groups/970024043185698/permalink/2174605606060863/?mibextid=S66gvF
(Ahmad Gaus, AF)